Jumanji: Welcome To The Jungle (2017)
Banyak film berbasis video game menutup mata akan gameplay sumber materinya sehingga gagal menghasilkan pengalaman yang sama. Sebagai pembiasaan acara menyenangkan, mereka bersikap terlalu serius. Seperti kita tahu, Jumanji: Welcome to the Jungle adalah sekuel Jumanji (1995) yang diangkat dari buku anak buatan Chris Van Allsburg. Tapi jikalau timbul pertanyaan "film apa yang menjadikan kesan serupa bermain video game?", inilah jawabannya. Gamers bakal tertawa sambil mengangguk paham mendapati bermacam-macam referensinya, penonton umum pun takkan terasing dan tersesat, sementara keempat tokoh utamanya tersesat di suatu dunia asing.
Dunia itu berada dalam video game. Ya, Jumanji yang 22 tahun kemudian berbentuk papan permainan sekarang yaitu Nintendo 90-an. Jangan tanya bagaimana. Anggap saja keajaiban. Keajaiban serupa turut mengubah Spencer, Bethany, Fridge, dan Martha, dari kuartet siswa Sekolah Menengan Atas bermasalah menjadi tokoh video game. Ini membahagiakan bagi Spencer, yang mempunyai otot besar sebagai Dr. Smolder Bravestone (Dwayne Johnson) atau Martha sebagai Ruby Roundhouse (Karen Gillan) yang atletis pula hebat sabung sambil menari. Sebaliknya, Fridge dibentuk kesal akhir perawakan tinggi tegapnya mengkerut ketika menempati tubuh Moose Finbar (Kevin Hart).
Setidaknya penderitaan Fridge tidak setara Bethany. Hilang sudah paras elok dan rambut pirang (dan telepon genggam), berganti jenggot lebat dan perut buncit Professor Sheldon Oberon (Jack Black). Melihat Dwayne Johnson kagum pada tubuh kekarnya, sebagaimana kita para insan biasa kerap rasakan Kevin Hart heboh mengeluhkan keadaan, hingga ketangguhan bertarung serta kecanggungan Karen Gillan berlagak seksi terang menghibur. Namun Jack Black dengan tingkah "anggun" yang bukan parodi murahan terhadap laki-laki feminin memberi pesona terkuat, bukti bahwa sang pelawak belum habis.
Perjalanan berikutnya sederhana. Keempatnya mesti menyelamatkan dunia Jumanji, menjelajahi hutan, menghadapi serbuan kudanil buas, segerombol badak, hingga ular berbisa. Kemasan agresi dalam penyutradaraan Jake Kasdan (Bad Teacher, Sex Tape) memang menyenangkan walau detail tiap set-piece mudah terlupakan begitu kita meninggalkan bioskop. Menariknya, justru para huruf yang sanggup bertahan usang di ingatan berkat penokohan khas, juga porsi merata, baik momen agresi maupun komedi. Bermain video game perlu fatwa taktis, dan mereka berempat memperlihatkan itu kala menghadapi setumpuk rintangan.
Jatah nyawa, NPC (Non-Player Character) dengan kemampuan bicara sebatas isyarat samar kolam sandi, merupakan segelintir cara Jumanji: Welcome to the Jungle bersenang-senang memakai ciri video game. Tidak muluk pula usungan pesannya, sekedar "we can make new friends by playing multiplayer video game", yang mana kerap terjadi di keseharian kita. Kisah persahabatan (berbumbu romansa) ditangani dengan baik, membuat epilog hangat meski tidak mencapai level emosional setinggi reuni Alan dan Sarah di film pertama.
Jumanji: Welcome to the Jungle memilih menekan nostalgia secukupnya, hanya secuil acuan berupa nama dua tokoh, termasuk versi lain Van Pelt (Bobby Cannavale) selaku antagonis. Tidak menyerupai pendahulunya, Jumanji: Welcome to the Jungle takkan meraih status tontonan keluarga klasik, apalagi di tengah seringnya keterlibatan Dwayne Johnson pada suguhan agresi petualangan. Pun empat bulan lagi, kita segera melihatnya memerankan action hero, bertarung melawan hewan-hewan liar di tengah hutan belantara (sebelum berlanjut ke sentra kota) sambil mengenakan kemeja berwarna abu-abu yang sama dalam Rampage. But this is fun and that should be enough.