-->

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

The Seen And Unseen (2017)

Mengingat tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia akan hal mistis, sudah sepantasnya sineas kita mengeksplorasi fenomena tersebut lebih jauh, bukan sekedar memposisikannya sebagai sumber kengerian. Setelah tahun kemudian Sunya dengan klenik kejawen tampil mewarnai, giliran The Seen and Unseen buatan Kamila Andini yang beberapa waktu kemudian menyabet penghargaan di Tokyo FILMeX International Film Festival dan Asia Pacific Screen Awards mengolah gagasan Sekala-Niskala asal Bali. Pasca realisme di film panjang (The Mirror Never Lies) dan pendek (Sendiri Diana Sendiri, Memoria), Kamila menjamah ranah surealisme, bermain simbol, mengaplikasikan tari, sebagaimana kerap dilakukan sang ayah, Garin Nugroho.

Secara garis besar, Sekala-Niskala merupakan konsep di mana hal kasatmata nan terlihat (Sekala) eksis berdampingan dengan hal mistik tak terlihat (Niskala). Memadukan itu dengan kepercayaan bahwa anak kembar saling menjalin ikatan batin, The Seen and Unseen bicara wacana luapan rindu terhadap sosok terkasih. Ketika Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) terbaring koma di rumah sakit akhir tumor, Tantri (Thaly Titi Kasih), mulai karam dalam imaji kehadiran sang saudara kembar, makan berdua, menari bersama. Pun kala malam bermandinkan sinar bulan tiba, Tantri bersinggungan dengan makhluk-makhluk tak kasat mata di sekitarnya. 
Sisi mistis dalam visi Kamila bukan pecahan dunia lain yang jahat maupun suram, meski kecacatan misterius masih memancing ngeri menyerupai tampak di beberapa kemunculan rombongan hantu anak kecil yang berguling-guling kolam benih tertiup angin. Daripada teror, Kamila lebih tertarik merangkai keajaiban. Sinematografi Anggi Frisca mendukung tujuan itu melalui malam yang terperinci berkat sinar purnama, sehingga tekstur awan atau sawah dengan padi yang telah meninggi kurang jelas tetap tampak. Itulah panggung bagi Tantri menari indah layaknya memanjatkan doa kepada semesta sambil mengenakan kostum unik (ayam dan monyet) buatan Retno Ratih Damayanti yang memanfaatkan flora seadanya. 
Selalu menyenangkan mengamati performa dua pemain film ciliknya, terlebih pada tarian di rumah sakit, ketika bukan saja gerak bertenaga (saling lompat antar kasur yakni pemandangan intens), ekspresi wajah pun total mereka tunjukkan. Berkatnya, dinamika emosi hingga perjalanan Tantri menuju penerimaan akan realita dapat tersampaikan utuh walau tanpa tuturan verbal. Sementara di ungkapan tersurat, Ayu Laksmi sebagai ibu si kembar menuangkan kehangatan yang mampu mendekap lembut hati penonton. 

Cenderung berupa visualisasi gagasan ketimbang rangkaian kisah linier, The Seen and Unseen banyak tersusun atas simbol-simbol yang sayangnya terlalu familiar (telur dan padi melambangkan aspek kehidupan), pun penyajiannya repetitif. Pengulangan selaku penegasan itu perlu, tapi berujung melelahkan sewaktu momen-momen dengan metafora serta nuansa setipe ditampilkan terlampau sering. Padahal Kamila Andini telah berhasil mengemas tempo lambat yang efektif, di mana gerak perlahan alur yakni wujud kesabaran serta sensitivitas alih-alih keputusan pretensius. Layaknya anak ayam yang gres beberapa ketika menetas dari telurnya, petualangan Kamila Andini mengarungi wilayah mistis ini belum sepenuhnya matang, tapi cukup mencuatkan harap sekaligus antisipasi tinggi untuk eksperimen-eksperimen sang sutradara di masa depan. 

Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel