-->

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Mau Jadi Apa? (2017)

(Review ini mengandung spoiler)
Menulis tentang Mau Kaprikornus Apa? begitu rumit. Selaku komedi, film yang diangkat dari buku berjudul sama mengenai kehidupan Soleh Solihun semasa kuliah ini tergolong solid. Walau kerap meleset, humornya tampil segar, mencerminkan "kenakalan" Soleh berceloteh. Sekali lagi, selaku komedi, Mau Kaprikornus Apa? patut direkomendasikan. Namun ada satu poin terkait konflik besarnya yang hadir dalam perspektif mengganggu. Poin yang mempunyai paralel dengan kontroversi fenomenal yang belakangan tengah mengguncang industri perfilman: sexual abuse allegation

Memang, di samping media melucu juga curahan memori Soleh perihal masa mudanya, film ini menyelipkan sederet isu penting nan relevan, tentunya secara penuh senda gurau. Contohnya ketika Soleh bergabung sebagai wartawan majalah kampus Fikom Unpad, Fakjat (Fakta Jatinangor) demi mendekati pujaan hatinya, Ros (Aurelie Moeremans). Persoalan sumbangsih masyarakat terhadap negara disinggung dalam setting kala iklim politik nasional sedang memanas pasca reformasi. Haruskah perwujudan kepedulian melulu soal politik hingga menolak bahasan "remeh" seputar olahraga dan seni? Apakah jurnalistik "berbobot" wajib identik dengan keseriusan dan dibawakan kaku? 
Kejengahan itu menggiring Soleh bersama kelima rekannya   Lukman (Boris Bokir), Fey (Anggika Bolsterli), Marsyel (Adjis Doaibu), Eko (Awwe), Syarif (Ricky Wattimena)   mendirikan majalah alternatif berjulukan Karung Goni (Kabar, Ungkapan, Gosip, dan Opini), membahas musik, film, percintaan, hingga gosip terhangat di lingkungan kampus. Seiring kesuksesan Karung Goni, timbul hasrat memaparkan masalah yang lebih berat, membawa filmnya mengkritik represi media serta penutupan fakta dari publik guna melindungi nama baik perseorangan, instansi, atau lebih luasnya, negara. 

Mau Kaprikornus Apa? tak ketinggalan membahas asam manis perkuliahan dengan enam protagonis sebagai jembatan. Mulai patah hati hingga duduk kasus personal mahasiswa. Soleh bersama Khalid Kashogi dan Agasyah Karim jeli menunjukkan observasi lewat skenario, menyinggung betapa problematika sejatinya bersifat relatif. Bagi Eko, sang ayah patut dibenci, lantaran kegagalan bisnisnya mengancam impiannya lanjut kuliah ke Australia batal. Namun bagi Lukman, Eko seharusnya bersyukur alasannya yakni ayahnya masih berusaha, sementara ayah Lukman sibuk berjudi. Di antara barisan kekonyolan, sudut pandang ini terasa spesial, dilengkapi tatanan momen dramatik yang tersaji apik. Mungkin ini kiprah Monty Tiwa di bangku sutradara, menjaga biar Mau Kaprikornus Apa? tetap seimbang ketika Soleh liar melucu. 
Usaha menciptakan penonton merasa dekat diusung pula oleh selipan kultur terkenal abad 90-an hingga awal 2000 (lagu, pengucapan nama-nama tenar) dan gaya komedi. Soleh ingin "mengakrabi" penonton menggunakan teknik breaking the fourth wall, juga meta jokes untuk melontarkan referensi-referensi kekinian yang dipahami penonton, dari Cek Toko Sebelah atau Ariel "Noah". Segar, tapi jadi hiperbola ketika berbaik hati menjelaskan lawakan perihal budaya terkenal masa lampau, seolah takut generasi kini tersesat. Padahal sewaktu makna humor dijelaskan, daya bunuhnya rawan lenyap. Untungnya Anggika Bolsterli senantiasa mencuat sebagai penyelamat tiap komedinya gagal mengenai sasaran, menjadi figur idola bersenjatakan performa asing layaknya "anak teater jarang manggung". 

Sampai gangguan itu tiba. (SPOILER ALERT) Alkisah, Karung Goni hendak membongkar pemerkosaan dosen terhadap mahasiswa yang Soleh dengar eksklusif dari korban, yang melarangnya memuat dongeng itu. Enggan menurut, balasannya informasi tersebut naik cetak. Melawan represi atas fakta dan berkedok "for the greater good", aspek ini mengesampingkan etika, menolak peka kepada korban. Walau filmnya berujung bahagia, di realita, perilaku demikian sanggup menambah luka batin. Mari memandang dari sisi mereka. Meski untuk kebaikan, apa anda bersedia menguak malu ke khalayak luas tanpa persetujuan? Karena selain berpikir kritis sekaligus lantang melawan, kita perlu sensitivitas didasari rasa kemanusiaan. 

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel